Selasa, 21 Mei 2013

Prinsip KRR



PRINSIP YANG HARUS DIPERHATIKAN DALAM KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA
A.    Pengetahuan Mengenai Kesehatan Reproduksi Yang Harus Dimiliki Oleh Remaja
1.      Perkembangan Fisik, Kejiwaan dan Kematangan Seksual Remaja
Pembekalan pengetahuan tentang perubahan yang terjadi secara fisik, kejiwaan dan kematangan seksual akan memudahkan remaja untuk memahami serta mengatasi berbagai keadaan yang membingungkannya. Informasi tentang haid dan mimpi basah, serta tentang alat reproduksi remaja laki-laki dan wanita perlu diperoleh setiap remaja.
Pada umumnya orang menganggap bahwa pendidikan seks hanya berisi tentang pemberian informasi alat kelamin dan berbagai macam posisi dalam berhubungan kelamin. Hal ini tentunya akan membuat para orang tua merasa khawatir. Untuk itu perlu diluruskan kembali pengertian tentang pendidikan seks, pendidikan seks berusaha menempatkan seks pada perspektif yang tepat dan mengubah anggapan negatif tentang seks. Dengan pendidikan seks kita dapat memberitahu remaja bahwa sseks adalah sesuatu yang alamiah dan wajar terjadi pada semua orang, selain itu remaja juga dapat diberitahu mengenai berbagai perilaku seksual berisiko sehingga mereka dapat menghindarinya (Widyastuti, 2009).
2.      Pergaulan yang Sehat antara Remaja Laki-Laki dan Perempuan serta Kewaspadaan Terhadap Masalah Remaja yang Banyak Ditemukan.
Remaja memerlukan informasi tentang pergaulan yang sehat antara remaja laki-laki dan perempuan serta kewaspadaan terhadap masalah remaja yang banyak ditemukan agar selalu waspada dan berperilaku reproduksi sehat dalam bergaul dengan lawan jenisnya. Disamping itu remaja memerlukan pembekalan tentang kiat-kiat unntuk mempertahankan diri secara fisik maupun psikis dan mental dalam menghadapi godaan, seperti ajakan untuk melakukan hubungan seksual  dan penggunaan napza (Widyastuti, 2009).
3.      Masalah Gender Spesifik
Ketidaksejajaran gender dapat menimbulkan implikasi-implikasi yang jelas baik bagi kesejahteraan fisik maupun psikososial para remaja. Remaja menghadapi kekuatan-kekuatan sosial, budaya dan ekonomi yang mempengaruhi pengalaman seksual mereka dan kemampuan untuk mengadopsi perilaku preventif.
Perbedaan yang berdasarkan gender dan standar ganda dapat menghambat kesempatan perempuan untuk memperoleh pendidikan serta di bidang ekonomi. Generasi muda terutama anak perempuan rentan terhadap kekerasan seksual, hubungan seksual yang dipaksakan dan hubungan dengan kekuatan yang tidak seimbang, mereka mungkin harus membuktikan kesuburan mereka dan berisiko terkena mutilasi genital perempuan. Dalam beberapa budaya perilaku pria lebih ditoleransi dan bahkan kadang didukung. Karena sikap gender ini telah terbukti tidak dapat dipisahkan dalam banyak upaya kesehatan reproduksi remaja (Martaadisoebrata, 2011).
4.      Proses Reproduksi yang Bertanggung Jawab
Manusia secara biologis mempunyai kebutuhan seksual. Remaja perlu mengendalikan naluri seksualnya dan menyalurkannya menjadi kegiatan yang positif, seperti olah raga dan mengembangkan hobi yang membangun. Penyaluran yang berupa hubungan seksual dilakukan setelah berkeluarga, untuk melanjutkan keturunan (Widyastuti, 2009).
5.      Persiapan Pra Nikah
Informasi tentang hal ini diperlukan agar calon pengantin siap secara mental dan emosional dalam memasuki kehidupan berkeluarga (Widyastuti, 2009).
6.      Pernikahan Pada Masa Remaja
Remaja perlu mendapat informasi tentang hal ini, sebagai persiapan bagi remaja pria dan wanita dalam memasuki kehidupan berkeluarga di masa depan (Widyastuti, 2009).
Berdasarkan hasil survei di 45 negara, lebih dari60% remaja putri yang aktif secara seksual telah menikah. Mayoritas remaja putri di negara berkembang menikah pada usia 20 tahun dan seringkali ditekan oleh keluarga serta masyarakat untuk segera memiliki anak pertama setelah menikah.
Para remaja yang telah menikah ini umumnya tidak memiliki pengetahuan lebih mengenai penyakit reproduksi jika dibandingkan dengan remaja yang belum menikah. Terlebih lagi akibat dari pemaparan mereka terhadap hubungan seksual yang menigkat serta ketidakmatangan fisiologis mereka, remaja yang telah menikah menghadapi resiko kesehatan reproduksi yang lebih besar, termasuk kehamilan yang tidak dikehemdaki atau kehamilan dengan penjadwalan yang tidak baik. Resiko kematian dan morbiditas maternal lebih tinggi dibandingkan dengan teman sebaya mereka yang belum menikah. Selain itu para remaja putri yang telah menikah juga mengalammi resiko terkena HIV dan infeksi pada saluran reproduksi yang lebih tinggi meskipun mereka hanya memiliki satu pasangan. Kesetiaan suami ydan pemakaian kondom menentukan apakah remaja putri terlindung atau tidak.
(Martaadisoebrata, 2011).
7.      Kehamilan Dini Dan Kehamilan Yang Tidak Di Inginkan
Banyak remaja aktif secara seksual meskipun bukan karena pilihan mereka sendiri. Setiap tahun sekitar 15 juta remaja melahirkan anak. Proses persalinan selalu memiliki potensi resiko kesehatan, tetapi resiko melahirkan pada remaja menjadi lebih besar terutama bagi wanita yang berusia dibawah 17 tahun. Remaja pada usia ini lebih mungkin mengalami persalinan terhambat (partus macet), persalinan memanjang dan persalinan sulit yang dapat mengakibatkan komplikasi jangka panjang. Perempuan muda seringkali memiliki pengetahuan terbatas atau kurang percaya diri untuk mengakses sistem pelayanan kesehatan sehingga mengakibatkan pelayanan prenatal yang terbatas berperan penting terhadap terjadinya komplikasi.
Kehamilan dini mungkin akan menyebabkan para remaja muda yang sudah menikah memiliki keharusan sosial untuk membuktikan kesuburan mereka, namun remaja tetap menghadapi resiko kesehatan sehubungan dengan kehamilan dini dengan tidak memandang status perkawinan mereka. Kehamilan yang terjadi sebelum remaja berkembang secar penuh juga dapat memberikan resiko terhadap bayi termasuk cedera pada saat persalinan, BBLR dan kemungkinan bertahan hidup lebih rendah pada bayi tersebut.
Di negara berkembang, hampir 60% kehamilan dan persalinan pada remaja baik yang sudah menikah ataupun yang belum menikah tidak dilakukan dengan pertolongan. Persalinan yang tidak direncanakan dapat mengarah pada stress emosional dan kesulitan ekonomi. Jika remaja putri tersebut belum menikah, ia mungkin harus menghadapi sikap tidak setuju dari masyarakat. Para siswa yang hamil di negara berkembang seringkali mencari cara untuk melakukan aborsi untuk menghindari kemungkinan dikeluarkan dari sekolah. Di negara-negara dimana aborsi adalah ilegal atau dibatasi oleh ketentuan usia, para wanita muda ini mungkin akan mencari penolong ilegal yang mungkin tidak terampil atau berpraktik di bawah kondisi-kondisi yang tidak bersih. Aborsi yang tidak aman menempati proporsi tinggi dalam kematian ibu di antara para remaja.
Selain penurunan resiko kesehatan pada kehamilan dini dan kehamilan yang tidak dikehendaki, penundaan persalinan pada remaja akan menguntungkan bagi wanita dan masyarakat disekitarnya. Para wanita muda yang menunda kelahiran anak pertama mereka hingga sampai mereka melewati masa remajanya memiliki kesempatan yang lebih besar untuk memperoleh pendidikan dan keterampilan yang diperlukan untuk membangun suatu keluarga dan berkompetisi secara berhasil di lapangan kerja. Peningkatan pendidikan berhubungan erat dengan penundaan usia perkawinan dan kehamilan wanita muda sehingga mereka baru melakukannya setelah melewati masa remaja mereka (Martaadisoebrata, 2011).
8.      Kontrasepsi Bagi Remaja
Para remaja memiliki hak untuk memperoleh informasi yang jelas dan akurat mengenai kontrasepsi termasuk pemakaian yang benar, efek samping dan bagaimana cara menjangkau petugas pelayanan kesehatan untuk menjawab kekhawatiran mereka. Remaja umumnya sehat dan belum terpengaruh oleh masalah orang dewasa seperti tekanan darah tinggi atau penyakit kronis lainnya, sehingga mereka dapat memilih menggunakan kontrasepsi jenis apapun, meskipun kondom seringkali merupakan pilihan pertama bagi para remaja yang belum menikah.
Konseling yang sesuai sangat penting ubntuk membantu remaja menangani atau menyisihkan potensi efek samping. Konseling harus mengungkapkan aspek pencegahan kehamilan sekaligus perlindungan terhadap PMS (Martaadisoebrata, 2011). 
9.      HIV Dan PMS Di Kalangan Remaja
Menurut WHO, 333 juta kasus baru PMS terjadi di seluruh dunia setiap tahun dan setidaknya 111 juta dari kasus ini terjadi pada mereka yang berusia di bawah 25 tahun. Hampir setengah dari infeksi HIV secara keseluruhan terjadi pada pria dan wanita dengan usia dibawah 25 tahun, dan di banyak negara berkembang data menunjukkan bahwa 60% dari semua infeksi HIV baru terjadi pada kellompok usia 15-24 tahun. Resiko infeksi pada wanita lebih tinggi dibandingn pria dengan rasio 2 berbanding 1.
Salah satu penelitian di Tanzania memperlihatkan bahwa wanita muda memiliki kemungkinan terinfeksi HIV lebih dari 4 kali dibandingkan pria muda meskipun wanita tidak berpengalaman seksual dan memiliki pasangan seksual yang jauh lebih sedikit dibandigkan dengan pria sebayanya.
Para remaja berisiko terkena HIV dan PMS karena berbagai alasan seperti (Martaadisoebrata, 2011):
a.       Kurangnya pengetahuan mengenai PMS termasuk HIV
b.      Tidak menganggap dirinya beresiko terkena penyakit tersebut
c.       Kurangnya akses terhadap kondom atau pemakaian kondom yang tidak konsisten
d.      Meningkatnya jumlah pasangan seksual sehingga mengarah pada meningkatnya resiko terpapar penyakit tersebut
e.       Faktor biologis (epitelium serviks perempuan muda lebih rentan terhadap infeksi)
f.       Faktor ekonomi (remaja mungkin tinggal atau bekerja di jalan dan berpartisipasi dalam “seks untuk kelangsungan hidup” atau “transaksi seks”).
g.      Faktor sosial:
1)      Terpaksa masuk dalam hubungan seksual
2)      Kurangnya keterampilan atau kekuatan untuk menegosiasikan pemakaian kondom
3)      Terbentur dengan norma gender
4)      Norma budaya/ agama tentang seksualitas dan infertilitas.
h.      Remaja mungkin ragu-ragu atau tidak dapat mencari pengobatan untuk PMS atau HIV karena khawatir keluarganya atau masyarakat tidak setuju.
i.        Tidak tahu bagaimana mengenali gejala penyakit dan tidak sadar bahwa mereka mungkin telah terinfeksi.
B.     Pemahaman Reproduksi Sehat
1.      Definisi Kesehatan Reproduksi
Suatu keadaan sejahtera fisik, mental dan sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan dalam semua hal yang berkaitan dengan sistem reproduksi serta fungsi dan prosesnya (Widyastuti, 2009).
2.      Ruang Lingkup Kesehatan Reproduksi Dalam Siklus Kehidupan
Secara luas, ruang lingkup kesehatan reproduksi meliputi (Widyastuti, 2009):
a.       Kesehatan ibu dan bayi baru lahir.
b.      Pencegahan dan penanggulangan Infeksi Saluran Reproduksi (ISK) termasuk PMS dan HIV/AIDS.
c.       Pencegahan dan penanggulangan komplikasi aborsi.
d.      Kesehatan reproduksi remaja.
e.       Pencegahan dan penanganan infertilitas.
f.       Kanker pada usia lanjut dan osteoporosis.
g.      Berbagai aspek kesehatan reproduksi lain, misalnya kanker serviks, mutilasi genital, fistula, dll.
Penerapan pelayanan kesehatan reproduksi oleh Departemen Kesehatan RI dilaksanakan secara integratif memprioritaskan pada empat komponen kesehatan reproduksi yang menjadi masalah pokok di Indonesia yang disebut paket Pelayanan Kesehatan Reproduksi Esensial (PKRE), yaitu (Widyastuti, 2009):
a.       Kesehatan ibu dan bayi baru lahir.
b.      Keluarga berencana
c.       Kesehatan reproduksi remaja
d.      Pencegahan dan penanganan infeksi saluran reproduksi, termasuk HIV/AIDS.
Sedangkan pada Pelayanan Kesehatan Reproduksi Komprehensif (PRPK) terdiri dari PRKE ditambah dengan kesehatan reproduksi usia lanjut.
3.      Hak-Hak Reproduksi
Hak-hak re[roduksi menurut kesepakatan dalam Konferensi International Kependudukan dan Pembangunan bertujuan untuk mewujudkan kesehatan bagi individu secara utuh, baik kesehatan jasmani maupun rohani, meliputi (Widyastuti, 2009) :
a.       Hak mendapat informasi dan pendidikan kesehatan reprouksi.
b.      Hak mendapatkan pelayanan dan perlindungan kesehatan reproduksi.
c.       Hak kebebasan berfikir tentang pelayanan kesehatan reprouksi.
d.      Hak untuk dilindungi dari kematian karena kehamilan.
e.       Hak untuk menentukan jumlah dan jarak kehamilan.
f.       Hak atas kebebasan dan keamanan berkaitan dengan kehidupan reproduksi.
g.      Hak bebas dari penganiayaan dan perlakuan buruk termasuk perlindungan dari perkosaan, kekerasan, penyiksaan dan pelecehan seksual.
h.      Hak mendapatkan manfaat kemajuan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi.
i.        Hak atas pelayanan dan kehidupan reproduksinya.
j.        Hak untuk membangun dan merencanakan keluarga.
k.      Hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi dalam kehidupan berkeluarga dan kehidupan reproduksi.
l.        Hak atas kebebasan berkumpul dan berpartisipasi dalam politik yang berkaitan dengan kesehatan reprouksi.
Sumber :
Widyastuti, dkk. 2009. Kesehatan Reproduksi. Fitramaya: Jakarta.
Martaadisoebrata, dkk. 2011. Bunga Rampai Obstetri Dan Ginekologi Sosial. PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo: Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar